Kontroversi Impor Beras
Oleh: H.M. Sholeh
http://www.solopos.com/2015/10/12/gagasan-kontroversi-impor-beras-650658
Gagasan Solopos, Jumat (9/10/2015), ditulis H.M. Sholeh. Penulis adalah pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah dan mahasiswa Program S3 Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret.
Solopos.com, SOLO — Akhir-akhir ini muncul wacana impor beras untuk menjaga stok pangan nasional. Rupanya kekeringan dampak El Nino berkepanjangan telah membuat para pengambil kebijakan di sektor pertanian mulai ancang-ancang melirik keran impor.
Belum ada dua bulan pernyataan optimistis pemerintah melalui Menteri Pertanian bahwa surplus pangan tahun ini diprediksi lebih dari 10 juta ton dari target atau mencapai 75 juta ton pada akhir 2015.
Berbagai langkah dan kebijakan telah diambil pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi padi pada 2015 ini, baik dari program mekanisasi (pembagian traktor), pembagian mesin pemompa air, hingga pengawalan distribusi pupuk bersubsidi oleh militer.
Alam berkehendak lain. Dampak kemarau panjang dan fenomena El Nino sudah mulai terasa. Kabut asap di mana-mana. Sawah kekeringan. Sumber air baku mengering, irigasi terhenti, hingga ancaman puso di berbagai wilayah. Di sinilah manusia merencanakan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Berbagai macam tudingan ke berbagai pihak yang terlibat baik Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perdagangan, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik, pemerintah provinsi hingga pemerintah kabupaten/kota, bahkan Badan Pusat Statistik sebagai sumber data turut sibuk membuat analisis baru kecukupan pangan.
Berdasarkan penuturan pemerintah, berdasarkan angka ramalan (aram) dari BPS, pemerintah masih optimistis hingga akhir 2015 kecukupan pangan masih aman. Setelah terjadi fenomena El Nino yang berdampak pada kekeringan yang berkepanjangan, diprediksi akan terjadi kemunduran masa panen pada musim berikutnya.
Alhasil kecukupan pangan akan terancam pada kuartal pertama atau kedua 2016. Prediksi ini beralasan karena kondisi alam yang ekstrem bisa terulang lagi seperti pada 2007 yang berakibat gagal panen/puso akibat kekeringan yang sama.
Peran “Lumbung” Bulog
Dalam kondisi seperti ini ditutut peran Perum Bulog agar benar-benar mewujud sebagai stabilisator pangan. Dalam kecemasan akibat dampak kekeringan ini, yang lebih penting adalah stabilisasi harga pangan. Jangan terjadi lonjakan harga pangan akibat kelangkaan atau ulah spekulan.
Impor seharusnya menjadi alternatif terakhir, yakni ketika kondisi benar-benar terancam. Dari pantauan di berbagai daerah sebenarnya masih ada beberapa daerah yang surplus pangan meskipun terdampak kekeringan berkepanjangan.
Hal ini ditunjang kesigapan petani memanfaatkan mesin pompa penyedot air dan kesungguhan mengatur saat tanam yang tepat. Kondiri tanam padi di beberapa daerah seperti Kabupaten Sragen, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Ngawi dan beberapa daerah saat ini sudah ada yang memasuki masa pengisian butir-butir padi.
Para petani di daerah-daerah itu mulai mengurangi kebutuhan air hingga masa panen nanti. Produktivitas panen di musim gadu seperti musim ini diprediksi tak akan sebanyak di musim hujan, akan tetapi jika dapat dijaga dari serangan hama dan penyakit tanaman, rendemennya akan naik.
Pada saat panen musim gadu biasanya harga pangan, khususnya padi, akan naik. Janganlah optimisme dan senyum petani padi ini dikandaskan oleh pembukaan keran impor yang kurang tepat. Perum Bulog seyogianya menjadi lumbung pangan yang sebenarnya.
Masalahnya harga beli gabah saat panen oleh Bulog tidak menarik bagi petani. Harga beli oleh Bulog masih di bawah harga pasar atau maksimal sama dengan harga pasar. Jika pemerintah melalui Bulog mengapresiasi panen padi petani, niscaya mampu membeli dengan harga di atas harga pasar.
Harga pembelian oleh Bulog yang di atas harga pasar otomatis menutup peluang spekulan untuk “bermain”. Yang penting dampak kestabilan harga pangan mempunyai efek berantai terhadap harga dan stabilitas komoditas lain. Dengan kata lain stabilitas ekonomi terjaga.
Kalaupun pemerintah harus mengimpor beras, impor harus dilakukan dengan dua tepat, yaitu tepat waktu dan tepat volume. Dampak komoditas pangan ini akan sangat besar terhadap komoditas lain. Stabilitas harga pangan adalah stabilitas ekonomi nasional.
Kebijakan impor beras perlu diperhitungkan secara matang agar tidak salah mengambil kebijakan. Langkah-langkah bijaksana selain inventarisasi daerah-daerah yang surplus maupun minus pangan akan sangat berguna dalam memetakan status keamanan pangan dan distribusinya.
Kalau dirasa perlu merevisi data Badan Pusat Statistik (BPS), sebaiknya mengacu realitas agar tidak terjebak pada analisis data yang salah dan berakibat salah dalam mengambil kebijakan. Langkah lain seperti optimalisasi peran Bulog dalam menyerap beras petani masih perlu ditingkatkan.
Diperlukan terobosan-terobosan yang inovatif dari Perum Bulog sebagai penyangga pangan nasional, misalnya impor beras kualitas rendah tapi diimbangi dengan ekspor beras kualitas premium untuk mengimbangi neraca pangan dan distribusinya.
Terobosan pemberian insentif bagi daerah-daerah yang mengalami surplus pangan dengan berbagai kemudahan dan lain-lain juga menarik dipertimbangan. Langkah pemerintah di masa “perlambatan ekonomi” ini harus bersifat kreatif dan inovatif, tentu disertai pertimbangan-pertimbangan kaidah ilmu dan teknologi yang memadai.
Diversifikasi
Banyak analisis dan faktor pendorong tercapainya keamanan dan kecukupan pangan bahkan hingga swasembada pangan nasional. Kesigapan pemerintah dalam mengambil kebijakan antara impor atau tidak sangat berpengaruh terhadap stabilitas pangan nasional.
Tentu tidak bisa hanya bertumpu pada klebijakan Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
Dukungan sumber daya manusia serta keterpaduan program dan lain sebagainya yang mendukung intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian jelas sangat penting. Diversifikasi pangan dalam arti penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hayati manusia Indonesia masih belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik.
Pangan bukanlah hanya beras. Banyak sumber pangan, yang beraneka ragam, yang sebenarnya bisa merupakan substitusi dari beras yang selama ini menjadi bahan makanan pokok masyarakat di Indonesia.
Semoga kontroversi mengimpor beras atau tidak ini tak akan berdampak pada eksistensi petani yang selalu setia berproduksi meski pada masa sulit sehingga tekad swasembada pangan di era pemerintahan ini menjadi angin segar bagi terwujudnya kedaulatan pangan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.
http://www.solopos.com/2015/10/12/gagasan-kontroversi-impor-beras-650658
Tidak ada komentar:
Posting Komentar