Minggu, 11 Desember 2016

Harian Joglosemar, Rabu 4 Maret 2015, Halaman 8 Rubrik : Opini Judul : Percepatan Swasembada Pangan

Percepatan Swasembada Pangan
oleh : H.M. Sholeh

Pemerhati pertanian, Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah, 
Tinggal di Sragen



Gebrakan pemerintahan Jokowi-JK pantas diapresiasi.  Kabinet Kerja dengan gaya blusukan-nya membawa angin segar baru bagi dunia pertanian di Indonesia. Tetapi, apresiasi saja tidaklah cukup tanpa dibuktikan melalui karya nyata yang bermuara pada peningkatan produksi pertanian dan kesejahteraan petaninya.  Inilah yang harus dibuktikan Kabinet Kerja yang baru seumur jagung ini.  Tekad tiga tahun swasembada pangan adalah tekad akselerasi (percepatan) swasembada pangan yang sangat strategis bagi stabilitas ekonomi nasional.
Dalam dua bulan terakhir, fokus program pertanian pemerintahan ini adalah menggenjot swasembada produksi pertanian dalam arti luas.  Dari swasembada pangan, swasembada gula, swasembada kedelai, swasembada daging dan produk lainnya bahkan hingga ke swasembada garam.  Diantara fokus tersebut maka swasembada pangan merupakan fokus unggulan karena menguasai hajat hidup orang banyak dan mayoritas masyarakat petani di Indonesia yang masih menjadi tumpuan pekerjaan pokoknya.  Meskipun jumlah rumah tangga petani diindikasikan merosot dari 31 juta menjadi 26 juta rumah tangga petani, tetapi melihat penyebaran dan anggota keluarganya yang masih bergantung sebagai mata pencaharian maka fokus swasembada pangan ini menjadi sangat strategis.
Fokus
Agak berbeda dengan program kerja Kementerian Pertanian (Kementan) yang saat ini dengan periode-periode sebelumnya. Kalau pada periode sebelumnya bertumpu pada peningkatan produktivitas maka Kementan era baru ini lebih fokus pada perbaikan infrastruktur dan memperbaiki faktor-faktor produksi pertanian seperti distribusi bibit dan pupuk serta sarana produksi Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) seperti traktor dan mesin pertanian lainnya.
Faktor mekanisasi pertanian menjadi perhatian penting bagi pemerintahan saat ini demikian juga mengenai jalur distribusinya dibuat sependek dan sesederhana mungkin untuk mempercepat kerja kerja dan kerja petani.  Hal itu terlihat saat parade bantuan 1.000 traktor diserahkan di tengah sawah pada saat kunjungan kerja Presiden ke Subang, Ngawi, Sukoharjo dan Kabupaten Landak, Kalbar beberapa waktu lalu.  Jumlah ini akan ditingkatkan menjadi bantuan 7.000 traktor yang direncanakan akan disebar ke-12 provinsi sasaran berdasarkan skala prioritas.
Demikian juga dengan rencana pembangunan waduk-waduk atau dam-dam pertanian seperti yang dijanjikan Jokowi pada saat kampanye Pilpres langsung ditindaklanjuti Kementerian PU yang berkolaborasi dengan Kementan dan Pemrov atau Pemkab sasaran.  Dengan target tahap pertama waduk-waduk ini untuk mengairi irigasi 1  juta hektare sawah produktif memberikan harapan baru bagi petani pangan yang sudah sangat haus akan pembangunan “nyata” di sektor infrastruktur pertanian.
Di sub sektor sarana pertanian seperti pendistribusian bibit-bibit unggul, pupuk organik maupun anorganik serta pestisida pengendali hama dan penyakit tanaman juga perlu disinkronkan antara BUMN-BUMN pertanian dengan Kementan dan Kementerian Perdagangan (Kemendag)selaku pengambil kebijakan-kebijakan yang pro petani dan rakyat.  Dengan disimbolkan blusukan kerja ala Jokowi yang melibatkan beberapa kementerian terkait diharapkan mampu memangkas birokrasi ruwet yang selama ini mengorbankan kepentingan petani sebagai objek bukan sebagai subjek akhir dari rantai pertanian.
Jika ditilik dari pengalaman sang presiden dalam pemerintahan, kiranya masalah sinkronisasi antar-BUMN dengan kementerian-kementerian terkait ini diharapkan bisa diatasi dengan mulus.  Untuk mendukung program-program tersebut pada tahun ini diperkirakan akan digelontorkan dana tak kurang dari Rp 2 triliun untuk mewujudkan bantuan alat dan mesin pertanian, perbaikan irigasi, distribusi bibit/benih unggul serta sarana dan prasarana lainnya.
Terpadu
Sehebat apapun program tanpa dukungan dan terpadunya program itu dengan pelakunya dalam hal ini adalah masyarakat petani dengan aparat serta sikap gotong royong yang selama beberapa tahun ini mulai luntur perlu digiatkan lagi.  Program yang terpadu antar-sub sektor pertanian dari hulu hingga hilir termasuk unsur kelembagaan, penyuluhan, bimbingan dari pemerintah masih diperlukan.  Sukses masa lalu dengan program Bimbingan Massal (Bimas)  dan Intensifikasi Massal (Inmas)yang telah berhasil mengantarkan sukses swasembada pangan 30 tahun lalu (1984) adalah bukti nyata kerterpaduan program dengan masyarakat sebagai objek pembangunan untuk bersama-sama berperan dalam pembangunan fisik maupun spirit-nya.
Pesan Presiden Jokowi pada saat blusukan di sawah Subang beberapa waktu lalu agar para insinyur pertanian terjun ke sawah adalah bentuk sindiran terbuka kepada insan pertanian agar turut memberikan peran nyata padadunia pertanian.  Negeri ini banyak tumbuh perguruan tinggi yang melahirkan insan-insan cendikia yang siap terjun sebagai agen pembangunan.  Tak kurang dari ratusan fakultas pertanian tersebar di seluruh pelosok Nusantara yang setiap tahun menghasilkan ribuan sarjana pertanian di Indonesia seharusnya mampu menjadi aset SDM Pertanian yang andal di bidangnya.
Disinyalir jumlah lulusan sarjana pertanian di Indonesia mencapai 34.000 orang setiap tahunnya atau 3,32 persen dari jumlah sarjana yang lahir setiap tahun, namun sayang yang terjun di dunia pertanian diperkirakan kurang dari 5 persen.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sarjana pertanian yang berkiprah di luar bidangnya, hal ini karena minimnya usaha pertanian dalam skala besar ataupun adanya persepsi kurang menariknya usaha tani dibanding dengan bidang lainnya.
Sebenarnya menurut Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (2014) dengan persentase jumlah sarjana pertanian 3,23 persen dari jumlah lulusan sarjana adalah lebih tinggi dibandingkan negara lain yang notabene lebih maju pertaniannya seperti di Brasil (1,78 persen), Amerika Serikat (1,06 persen), Jepang (2,28 persen), Malaysia (0,58 persen), dan Korea Selatan (1,26 persen).  Tak salah jika Presiden mengimbau agar sarjana pertanian kembali ke khittah-nya untuk memberdayakan bidang pertanian yang sebenarnya masih mempunyai potensi yang sangat tinggi.
Diversifikasi
Banyak analisis dan faktor pendorong tercapainya akselerasi swasembada pangan nasional. Selain faktor di atas baik infrastruktur, sarana dan prasarana, dukungan SDM, keterpaduan program dan lain sebagainya yang mendukung intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian, tetapi juga diversifikasi pangan dalam arti penganekaragaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan hayati manusia di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa dilaksanakan dengan baik.
Pangan bukanlah hanya beras, tetapi banyak sumber pangan yang beraneka ragam yang sebenarnya bisa merupakan substitusi dari beras yang selama ini menjadi bahan makanan pokok masyarakat di Indonesia. Sebagai negara dengan konsumsi beras perkapita tertinggi di dunia yaitu sebesar 130 kg/kapita banyak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.  Dengan mengurangi konsumsi beras per kapita nasional sebesar 10 persen saja akan sangat membantu akselerasi swasembada pangan khususnya beras sekaligus meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Semoga program akselerasi swasembada pangan di era pemerintahan ini menjadi angin segar bagi terwujudnya kedaulatan pangan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya. Semoga !!!

https://joglosemar.co/2015/03/opini-percepatan-swasembada-pangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar