Minggu, 11 Desember 2016

Daftar Publikasi Karya M. Sholeh 2013-2016

DAFTAR PUBLIKASI KARYA M. SHOLEH DARI TAHUN 2013-2016




























































































SoloPos, 20 Januari 2016, Halaman 4, Rubrik : Gagasan, Judul : Menabung Air

Menabung Air
oleh : H.M. Sholeh

Gagasan Solopos, Rabu (20/1/2016), ditulis H.M. Sholeh. Penulis adalah Pjs. Dirut PDAM Tirto Negoro Sragen dan Mahasiswa S3 Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret.

http://www.solopos.com/2016/01/21/gagasan-menabung-air-682600


Solopos.com, SOLO — Dampak fenomena El Nino berkepanjangan telah terjadi pada 2015 dengan berbagai peristiwa, dari kabut asap di mana-mana, kekeringan sawah, mengeringnya sumber air baku dan irigasi, hingga puso di berbagai wilayah.
Pendek kata semua makhluk yang membutuhkan air dalam proses hidupnya sangat terganggu dengan pasokan air yang menipis.     Sementara itu sebagai pemegang kebijakan, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mencanangkan program 100-0-100 pada 2019.


Program tersebut berarti pada 2019 seluruh rakyat harus memperoleh akses air bersih 100%, kawasan kumuh 0%, dan akses sanitasi layak 100%. Target pemerintah tersebut tidak berlebihan selama dapat dipersiapkan sebaik mungkin dengan langkah-langkah yang bijak, terencana, dan berkelanjutan.
Perusahaan daerah air minum (PDAM) sebagai pelaksana pemenuhan target akses air bersih bagi masyarakat secara menyeluruh (100%) pada 2019 menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Tantangan tersebut berwujud masalah antardaerah yang sangat beragam, yakni dari semakin menipisnya sumber air baku, topografi, benturan penggunaan air, sumber daya manusia (SDM), perpipaan, pendanaan, hingga dukungan pemerintah daerah yang merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian target tersebut.
Setelah fenomena El Nino pada 2015 lalu masih ada tantangan alam pada 2016. Berdasarkan prakiraan akan terjadi fenomena La Nina pada tahun ini.  Fenomena La Nina pada 2016 diprediksi merupakan kebalikan dari fenomena El Nino pada  2015.
Fenomena La Nina berawal dari menguatnya angin pasat tenggara, sedangkan suhu muka air laut di Samudera Pasifik sebelah barat lebih hangat daripada suhu tropis di timur Pasifik yang berada pada kondisi lebih dingin.
Akibat dari pola suhu permukaan laut yang seperti itu atmosfer tropis di wilayah barat Pasifik mengalami penguapan air dengan kadar yang lebih tinggi. Kemungkinan untuk munculnya awal Cumulus sebagai awan pembawa hujan menjadi semakin meningkat.
Sudah pasti dampak La Nina akan mengakibatkan bencana banjir, tanah longsor, atau bahkan angin puting beliung di berbagai wilayah. Lumrah manusia selalu mengeluh apabila air kurang atau berlebih.
Hal ini sebenarnya adalah masalah pengaturan air (water management) berdasarkan kaidah-kaidah hidrologi dan lingkungan secara bijak dan berwawasan lingkungan.
Dampak El Nino dan La Nina juga disebabkan anomali iklim yang telah terjadi dalam beberapa dasawarsa belakangan ini  berupa efek rumah kaca, bocornya lapisan ozon, meningkatnya suhu permukaan kutub, hingga dampak pencemaran yang terakumulasi. Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut di atas?
  
Neraca Air

Sesungguhnya jumlah air secara keseluruhan tetap, tetapi penyebarannya tidak seimbang akibat kurangnya langkah konservasi air dan tanah serta lingkungan. Untuk mengatur keseimbangan air (water balance) seharusnya setiap wilayah atau pemerintah daerah menghitung neraca air di wilayahnya.
Dari neraca air tersebut dapat ditentukan langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil sehubungan dengan kebijakan konservasi tanah, air,  serta lingkungan, bukan sekadar eksplorasi air tanah yang sebebas-bebasnya atau pompanisasi dan lain-lain.
Merebaknya kawasan industri yang tidak disertai kebijakan pengambilan air secara terkendali menyebabkan ketidakseimbangan neraca air di suatu wilayah. Demikian juga dengan menjamurnya kawasan perumahan, permukiman, pusat perbelanjaan, hotel, hingga mal-mal di perkotaan hingga ke wilayah kabupaten/kota yang sedang tumbuh.
Belum lagi banyaknya penggunaan mesin pompa air di sawah tanpa dasar kaidah hidrologi yang tepat. Ini menyebabkan permukaan air tanah turun secara signifikan. Seharusnya pemerintah daerah memproteksi sumber-sumber air melalui penghijauan, konservasi tanah dan air, kalau perlu diterbitkan peraturan daerah untuk memproteksi sumber air tersebut.
Kepedulian terhadap keseimbangan air sesungguhnya bisa dimulai dari skala terkecil atau rumah tangga, kantor, lingkungan, hingga gerakan menabung air.  Apa itu konsep menabung air?
Menabung air adalah melakukan tindakan penyimpanan air pada saat berlebih melalui tindakan-tindakan konservasi air di lingkungan dan menggunakannya secara bijak pada saat dibutuhkan.
Prinsip menabung air adalah menahan air sebanyak-banyaknya agar tertahan di lingkungan tanah atau reservoir dengan membuat sumur resapan di sekitar rumah, kantor, atau lingkungan.
Selain di sumur-sumur resapan, menabung air juga dapat dilakukan melalui pembuatan lubang resapan biopori (LRB). LRB ini selain berfungsi sebagai lubang resapan air juga dapat menjadikan tempat dekomposisi bahan organik serta menjaga keseimbangan ekosistem di dalam tanah.
LRB juga dapat dibuat dalam skala rumah tangga sesuai intensitas curah hujan dan luas kawasan. Teknik-teknik sederhana ini sangat mudah diterapkan dan sangat bermanfaat bagi keseimbangan air serta menjaga biodiversitas di dalam tanah dan lingkungan.
Jika dalam sebuah rumah tangga memiliki 10 lubang resapan biopori, dalam satu kota yang berpenduduk satu juta orang, misalnya, dapat menabung air tak kurang dari 10 juta liter selama setahun.  Dampak secara regional dan nasional bila hal ini bisa menjadi gerakan nasional tentu lebih baik lagi.
Sayangnya, saat ini banyak halaman, pekarangan, atau bahu jalan di lingkungan masyarakat ditutup dengan beton, bata, atau conblock yang tidak meresapkan air.  Sejatinya menjaga ruang terbuka hijau dengan rumput atau hijauan membantu menjaga resapan dan keseimbangan air tanah di lingkungan tersebut.
Dalam skala yang lebih bersar kebijakan pemerintah pantut diapresiasi dengan memperbanyak embung-embung atau waduk-waduk penampung air yang dapat digunakan berbagai keperluan pertanian, sumber air baku, konservasi, hingga pariwisata.
Demikian juga dengan konservasi hutan, bukit-bukit, dan gunung-gunung dengan langkah reboisasi, apalagi setelah dampak kebakaran hutan tahun lalu, merupakan tindakan konservasi yang sangat terpuji.
Gerakan kesadaran terhadap program penanaman semiliar pohon mulai muncul gerakan serupa berupa adopsi pohon atau tanaman pada suatu kawasan atau wilayah tertentu.
Dengan langkah kecil menabung air yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan akan menjaga keseimbangan air di dalam tanah dan lingkungan.  Menabung air adalah menabung kesehatan dan kehidupan di masa datang.
Semoga dengan langkah kecil ini dapat berperan serta membantu mewujudkan program 100-0-100 pada 2019 seperti yang telah dicanangkan pemerintah.






http://www.solopos.com/2016/01/21/gagasan-menabung-air-682600


SoloPos, 9 Oktober 2015, Halaman 4, Rubrik : Gagasan , Judul : Kontroversi Impor Beras

Kontroversi Impor Beras

Oleh: H.M. Sholeh


http://www.solopos.com/2015/10/12/gagasan-kontroversi-impor-beras-650658

Gagasan Solopos, Jumat (9/10/2015), ditulis H.M. Sholeh. Penulis adalah pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah dan mahasiswa Program S3 Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret.


Solopos.com, SOLO — Akhir-akhir ini muncul wacana impor beras untuk menjaga stok pangan nasional. Rupanya kekeringan dampak El Nino berkepanjangan telah membuat para pengambil kebijakan di sektor pertanian mulai ancang-ancang melirik keran impor.
Belum ada dua bulan pernyataan optimistis pemerintah melalui Menteri Pertanian bahwa surplus pangan tahun ini diprediksi lebih dari 10 juta ton dari target atau mencapai 75 juta ton pada akhir 2015.
Berbagai langkah dan kebijakan telah diambil pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi padi pada 2015 ini, baik dari program mekanisasi (pembagian traktor), pembagian mesin pemompa air, hingga pengawalan distribusi pupuk bersubsidi oleh militer.
Alam berkehendak lain. Dampak kemarau panjang dan fenomena El Nino sudah mulai terasa. Kabut asap di mana-mana. Sawah kekeringan. Sumber air baku mengering, irigasi terhenti, hingga ancaman puso di berbagai wilayah. Di sinilah manusia merencanakan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Berbagai macam tudingan ke berbagai pihak yang terlibat baik Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perdagangan, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik, pemerintah provinsi hingga pemerintah kabupaten/kota, bahkan Badan Pusat Statistik sebagai sumber data turut sibuk membuat analisis baru kecukupan pangan.
Berdasarkan penuturan pemerintah,  berdasarkan angka ramalan (aram) dari BPS, pemerintah masih optimistis hingga akhir 2015 kecukupan pangan masih aman.  Setelah terjadi fenomena El Nino yang berdampak pada kekeringan yang berkepanjangan, diprediksi akan terjadi kemunduran masa panen pada musim berikutnya.
Alhasil kecukupan pangan akan terancam pada kuartal pertama atau kedua 2016. Prediksi ini beralasan karena kondisi alam yang ekstrem bisa terulang lagi seperti pada 2007 yang berakibat gagal panen/puso akibat kekeringan yang sama.

 Peran Lumbung Bulog
Dalam kondisi seperti ini ditutut peran Perum Bulog agar benar-benar mewujud sebagai stabilisator pangan. Dalam kecemasan akibat dampak kekeringan ini, yang lebih penting adalah stabilisasi harga pangan. Jangan terjadi lonjakan harga pangan akibat kelangkaan atau ulah spekulan.

Impor seharusnya menjadi alternatif terakhir, yakni ketika kondisi benar-benar terancam. Dari pantauan di berbagai daerah sebenarnya masih ada beberapa daerah yang surplus pangan meskipun terdampak kekeringan berkepanjangan.
Hal ini ditunjang kesigapan petani memanfaatkan mesin pompa penyedot air dan kesungguhan mengatur saat tanam yang tepat. Kondiri tanam padi di beberapa daerah seperti Kabupaten Sragen, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Ngawi dan beberapa daerah saat ini sudah ada yang memasuki masa pengisian butir-butir padi.
Para petani di daerah-daerah itu mulai mengurangi kebutuhan air hingga masa panen nanti. Produktivitas panen di musim gadu seperti musim ini diprediksi tak akan sebanyak di musim hujan, akan tetapi jika dapat dijaga dari serangan hama dan penyakit tanaman, rendemennya akan naik.
Pada saat panen musim gadu biasanya harga pangan, khususnya padi, akan naik. Janganlah optimisme dan senyum petani padi ini dikandaskan oleh pembukaan keran impor yang kurang tepat. Perum Bulog seyogianya menjadi lumbung pangan yang sebenarnya.
Nenek moyang kita selalu bergotong royong menyimpan padi di lumbung padi saat panen raya dan baru mengambilnya pada saat kekeringan. Falsafah demikian ini yang seharusnya digunakan Perum Bulog sebagai stabilisator pangan utama di negeri ini.
Masalahnya harga beli gabah saat panen oleh Bulog tidak menarik bagi petani. Harga beli oleh Bulog masih di bawah harga pasar atau maksimal sama dengan harga pasar.  Jika pemerintah melalui Bulog mengapresiasi panen padi petani, niscaya mampu membeli dengan harga di atas harga pasar.
Harga pembelian oleh Bulog yang di atas harga pasar otomatis menutup peluang spekulan untuk “bermain”.  Yang penting dampak kestabilan harga pangan mempunyai efek berantai terhadap harga dan stabilitas komoditas lain. Dengan kata lain stabilitas ekonomi terjaga.
Kalaupun pemerintah harus mengimpor beras, impor  harus dilakukan dengan dua tepat, yaitu tepat waktu dan tepat volume. Dampak komoditas pangan ini akan sangat besar terhadap komoditas lain. Stabilitas harga pangan adalah stabilitas ekonomi nasional.
Kebijakan impor beras perlu diperhitungkan secara matang agar tidak salah mengambil kebijakan.        Langkah-langkah bijaksana selain inventarisasi daerah-daerah yang surplus maupun minus pangan akan sangat berguna dalam memetakan status keamanan pangan dan distribusinya.
Kalau dirasa perlu merevisi data Badan Pusat Statistik (BPS), sebaiknya mengacu realitas agar tidak terjebak pada analisis data yang salah dan berakibat salah dalam mengambil kebijakan.        Langkah lain seperti optimalisasi peran Bulog dalam menyerap beras petani masih perlu ditingkatkan.
Diperlukan terobosan-terobosan yang inovatif dari Perum Bulog sebagai penyangga pangan nasional, misalnya impor beras kualitas rendah tapi diimbangi dengan ekspor beras kualitas premium untuk mengimbangi neraca pangan dan distribusinya.
Terobosan pemberian insentif bagi daerah-daerah yang mengalami surplus pangan dengan berbagai kemudahan dan lain-lain juga menarik dipertimbangan.  Langkah pemerintah di masa “perlambatan ekonomi” ini harus bersifat kreatif dan inovatif,  tentu disertai pertimbangan-pertimbangan kaidah ilmu dan teknologi yang memadai. 

Diversifikasi
Banyak analisis dan faktor pendorong tercapainya keamanan dan kecukupan pangan bahkan hingga swasembada pangan nasional. Kesigapan pemerintah dalam mengambil kebijakan antara impor atau tidak sangat berpengaruh terhadap stabilitas pangan nasional.
Tentu tidak bisa hanya bertumpu pada klebijakan Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
Dukungan sumber daya manusia serta keterpaduan program dan lain sebagainya yang mendukung intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian jelas sangat penting. Diversifikasi pangan dalam arti penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hayati manusia Indonesia masih belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik.
Pangan bukanlah hanya beras. Banyak sumber pangan, yang beraneka ragam, yang sebenarnya bisa merupakan substitusi dari beras yang selama ini menjadi bahan makanan pokok masyarakat di Indonesia.
Sebagai negara dengan konsumsi beras per kapita tertinggi di dunia, yaitu 130 kg/kapita, tentu menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.  Dengan mengurangi konsumsi beras per kapita nasional sebanyak 10% saja akan sangat membantu kecukupan pangan dan keamanan pangan,  bahkan swasembada pangan, khususnya beras sekaligus meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Semoga kontroversi mengimpor beras atau tidak ini tak akan berdampak pada eksistensi petani yang selalu setia berproduksi meski pada masa sulit sehingga  tekad swasembada pangan di era pemerintahan ini menjadi angin segar bagi terwujudnya kedaulatan pangan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.


http://www.solopos.com/2015/10/12/gagasan-kontroversi-impor-beras-650658 


SoloPos, Sabtu 1 Agustus 2015, Halaman 4, Rubrik : Gagasan , Judul : El Nino Mengancam Swasembada Pangan

El Nino Mengancam Swasembada Pangan

oleh : M. Sholeh
msholeh10@gmail.com
Gagasan Solopos, Sabtu (1/8/2015), ditulis M. Sholeh. Penulis adalah pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah. Penulis juga peserta Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret.

http://www.solopos.com/2015/08/03/gagasan-el-nino-mengancam-swasembada-pangan-629081
Solopos.com, SOLO — Indonesia belakangan ini memasuki musim kemarau ditambah dampak pemanasan global dan yang cukup signifikan. Pemanasan global ini adalah dampak fenomena El Nino yang semakin terasa di seluruh Asia Tenggara, khususnya di wilayah Indonesia.
Fenomena El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai meningkatnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik, di sekitar ekuator, khususnya di bagian tengah dan timur.
Ketika fenomena El Nino terjadi, saat suhu permukaan laut di Samudra Pasifik, kawasan ekuator bagian tengah dan timur menghangat, justru suhu perairan sekitar Indonesia umumnya menurun yang berakibat berkurangnya pembentukan awan hujan di Indonesia.
Dampaknya adalah ancaman kekeringan yang lebih (abnormal) di musim kemarau ini. Bagi pertanian di Indonesia, khususnya tanaman pangan, fenomena El Nino yang terjadi Juli hingga (diperkirakan) November adalah tantangan besar bagi target swasembada pangan.
Pemerintah telah menetapkan akselerasi swasembada pangan hingga tiga tahun ke depan. Ini adalah target ambisius dan penuh tantangan. Target tersebut tidak mustahil dicapai, akan tetapi juga menjadi ujian berat di tengah prestasi Kabinet Kerja yang belum berumur setahun.
Target tersebut akan dapat dicapai jika kebijakan-kebijakan yang diambil Kementerian Pertanian sebagai pemangku kebijakan di bidang pertanian tepat, yakni mengambil langkah-langkah strategis serta tepat dalam penempatan prioritas pembangunan pertanian.
Dampak fenomena El Nino dapat menurunkan produksi tanaman pangan, menurunnya kualitas, hingga gagal panen dan puso. Dampak inilah yang perlu dikaji dan diantisipasi secara bijak agar target swasembada pangan tidak meleset.
Jika tak diantisipasi dengan baik, dikhawatirkan dapat berakibat buruk, bahkan bisa lebih buruk daripada dampak fenomena El Nino 2007 yang sempat mengakibatkan rawan pangan pada tahun tersebut.
Dalam sepekan terakhir, Menteri Pertanian Amran Sulaiman semakin intensif blusukan ke daerah-daerah sentra lumbung pangan di Jawa.  Dalam empat hari ia blusukan di 12 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur, semuanya dilalui dengan jalan darat.
Blusukan Menteri Pertanian kali ini memang memantau dan mengantisipasi dampak kemarau dan fenomena El Nino yang diperkirakan berlangsung hingga November.  Dampak musim kemarau dirasakan beberapa daerah yang kesulitan air seperti di Kabupaten Klaten, Wonogiri, Sragen, Boyolali hingga sebagian besar wilayah di Jawa Timur dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dampak kekeringan musim kemarau ini telah dirasakan pada awal Juli bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dan Idul Fitri 1436 H.  Kekeringan selain berdampak pada terancamnya panen tanaman padi, yang sebagian puso, juga terhadap kebutuhan air bersih dan air minum pada saat Lebaran lalu.
Di daerah-daerah kekeringan ini ada pertambahan manusia hingga 30% akibat banyaknya warga yang pulang kampung seperti di wilayah Soloraya dan sekitarnya. Beberapa daerah sentra produksi padi selesai panen menjelang Ramadan dan Lebaran lalu.
Akibat minimnya informasi yang diterima petani, meskipun sudah memasuki musim kemarau yang diperparah dengan fenomena El Nino, sebagian di antara mereka masih menanam padi di sawah meskipun tergantung irigasi dari sumur atau sungai yang dipompa, tentu berbiaya mahal dan berisiko gagal panen.
 
Neraca Air
Melihat fenomena di atas, kewajiban pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat berdasarkan skala prioritas. Beberapa langkah darurat Menteri Pertanian berupa pemberian bantuan mesin pompa penyedot air dan traktor memang membantu percepatan proses pengolahan lahan dan menopang irigasi yang vital bagi tanaman pangan.
Skala prioritas ini menjadi tidak berarti manakala sumber air baku tidak tersedia atau kalau tersedia debitnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian.
Banyaknya sumur pantek di daerah sentra produksi pangan menjadi tantangan tersendiri bagi pemenuhan kebutuhan air bersih dan air minum atau untuk irigasi pertanian, belum lagi untuk kebutuhan ternak dan kebutuhan lainnya.
Diperlukan pembangunan waduk-waduk untuk menopang kebutuhan air baku bagi pertanian maupun suplai air minum dan air bersih. Prioritas kebutuhan lain bagi petani adalah bantuan benih dan pupuk bersubsidi yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat dosis, tepat jenis, dan tepat harga (lima tepat).
Mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi dengan pengawasan oleh tentara adalah terobosan baru, namun yang lebih penting adalah tersedianya ”lima tepat” pada saat dibutuhkan petani, apalagi saat menghadapi fenomena El Nino dan kemarau yang berkepanjangan.
Prioritas lainnya adalah pengaturan pola tanam, ketepatan pemilihan varietas padi tahan kering, tumpang sari, tumpang gilir dengan tanaman pangan lain seperti palawija (jagung, kedelai, kacang hijau) dan tanaman lainnya untuk memperoleh hasil yang  optimal dan memuaskan.
Pola tanam yang tepat akan menentukan tingginya produktivitas pertanian maupun kontinuitas produksi pangan yang menopang swasembada pangan berkelanjutan.
Khusus menyikapi dan mengantisipasi kekurangan air, selayaknya pemerintah mulai menghitung neraca air seperti yang dipelopori Pemerintah Kabupaten Sragen tahun ini.
Neraca air adalah kalkulasi volume air yang masuk dan keluar di suatu wilayah atau suatu sistem. Dengan kajian neraca air ini dapat ditentukan langkah-langkah manajemen sumber daya air, baik bagi irigasi pertanian, peternakan, air minum, maupun bagi estetika atau bahkan potensi wisata.
Dengan kajian neraca air diharapkan pada tahun depan pemanfaatan air lebih tepat dan optimal. Dengan inovasi seperti ini diharapkan akselerasi swasembada pangan dapat dikawal secara terus-menerus dan terpadu. Kearifan pengelolaan lingkungan, tanah, air, dan keseimbangannya adalah kunci sukses pertanian berkelanjutan. 

http://www.solopos.com/2015/08/03/gagasan-el-nino-mengancam-swasembada-pangan-629081







SoloPos 25 Maret 2015, Halaman 4, Rubrik : Gagasan, Judul : Kembalinya Kedaulatan Air Refleksi Hari Air Sedunia (World Water Day) ke-23 Tahun 2015

Kembalinya Kedaulatan Air



Refleksi Hari Air Sedunia (World Water Day) ke-23 Tahun 2015
 

Oleh : H.M. Sholeh
msholeh10@gmail.com
Direktur Umum PDAM Tirto Negoro Kabupaten Sragen


          
         Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya Air (SDA) adalah kado terindah bagi Kedaulatan Air.  Hal ini sekaligus sejalan dengan tema peringatan Hari Air Sedunia ke-23 Tahun 2015 yang akan diperingati pada tanggal 22 Maret 2015 ini.  Tema Hari Air Sedunia tahun ini adalah Water and Sustainable Development” atau “Air dan Pembangunan Berkelanjutan”. Tema  ini menyoroti pentingnya air bagi rakyat dalam agenda pembangunan berkelanjutan. Air memiliki peran yang penting dalam agenda pembangunan berkelanjutan. Air adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup yang berdaulat di muka bumi ini.

Dengan pembatalan UU No. 7 Tahun 2004  pada prinsipnya penggunaan SDA diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk pertanian rakyat.  Keputusan yang sangat berani dari MK yang mengabulkan seluruh uji materi amat penting bagi penegakan kedaulatan Negara atas SDA semagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.  Dengan demikian berakhir pula privatisasi air yang selama 10 tahun terakhir telah mengekspoitasi sumber daya air secara tak terkendali dan bahkan mengancam pemenuhan kebutuhan air untuk rakyat oleh Negara.
            Amanah Undang-undang dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) adalah “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sungguh para pendiri Republik ini sudah sadar betul bahwa masalah air sangatlah penting dalam kehidupan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pengelolaan air bagi hidup dan kehidupan masyarakat harus dikelola dengan sebaik-baiknya dengan tujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. 

Momentum Hari Air Sedunia
            Dalam plaksanaannya sambilk menunggu UU SDA yang baru maka dasar hokum pengelolaan air dikembalikan kepada UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan.  Konsekwensinya Pemerintah Daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan air bagi rakyat dalam arti luas, dan tentu saja hal ini akan menjadi angin segar bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berkompeten dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih dan air minum bagi rakyat di daerahnya masing-masing.
            Memanfaatkan momentum dalam peringatan Hari Air Sedunia dengan tema Air dan Pembangunan Berkelanjutan adalah sangat tepat bagi kembalinya Kedaulatan Air bagi Rakyat.  Memang air adalah kebutuhan vital bagi berlangsungnya kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya serta keberlangsungan lingkungan hidup yang sehadat dan berkelanjutan.  Demikian juga proses pembangunan di segala sector tak terlepas dari fungsi air untuk kehidupan.  Momentum ini sekaligus berarti bahwa swasta tidak diperkenankan menguasai atas sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan secara terbatas sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh Negara secara ketat.  Komersialisasi air tanpa mempertimbangkan pemenuhan hak-hak rakyat atas kebutuhan air akan menjadi hal yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan air dalam menopang pembangunan secara berkelanjutan.  Demikian juga dengan faktor lingkungan yang harus dijaga demi keberlanjutan akses dan pemenuhan air bagi kehidupan rakyat.

Enam Prinsip

Akses penguasaan SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.  Oleh karenanya dalam pemenuhan pengelolaan SDA maka harus dipenuhi 6 Prinsip dasar Pembatasan Pengelolaan SDA, yaitu : 1). Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air, 2). Negadra harus memenuhi hak rakyat atas air.  Akses terhadap air adalah merupakan hak asasi, 3) Kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, 4). Pengawasan dan pengendalian oleh Negara atas air sifatnya mutlak, 5) Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMD dan BUMN dan 6). Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu. 
Kembalinya kedaulatan air ini layak disambut hangat ditengah-tengah serbuan modal asing bagi privatisasi air secara komersial.  Selama “rezim” Privatisasi air berlangsung hamper satu dasa warsa maka kita telah menyaksikan bagaimana air dikuasai oleh pihak swasta dan bukan diguinakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.  Bahkan kita pernah menyaksikan jaman dimana harga air minum lebih mahal daripada harga bahan bakar sekalipun hal itu adalah produk yang telah mengalami proses dan berteknologi tinggi.  Tetapi kembalinya kedaulatan air di tangan Negara untuk kesejahteraan rakyat adalah angin segar bagi pengelolaan SDA secara arif dan bijaksana serta berkelanjutan.
Diakui sebagian pelayanan perusahaan air minum milik pemerintah daerah masih ada yang dikeluhkan para pelanggan.  Akan tetapi seiring dengan tekad pemerintah melalui program 100-0-100 pada tahun 2019 (100% akses air minum bagi masyarakat, 0% wilayah kumuh dan 100% sanitasi layak bagi masyarakat adalah tantangan berat bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk meweujudkannya.  Disinilah diperlukan langkah-langkah konkrit dan pengelolaan PDAM secara profesional bagi pemenuhan akses air minum yang memenuhi prinsip “4 K” (yaitu : Kualitas, Kuantitas, Kontinyuitas dan Keterjangkauannya) bagi masyarakat.
Semoga dengan Refleksi Hari Air Sedunia kali ini benar-benar mampu mewujudkan Kedaulatan Air bagi rakyat dan Pembangunan secara Berlkelanjutan.   Insya Allah dan Semoga !!! (msholeh10@gmail.com)***


Harian Joglosemar, Rabu 4 Maret 2015, Halaman 8 Rubrik : Opini Judul : Percepatan Swasembada Pangan

Percepatan Swasembada Pangan
oleh : H.M. Sholeh

Pemerhati pertanian, Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah, 
Tinggal di Sragen



Gebrakan pemerintahan Jokowi-JK pantas diapresiasi.  Kabinet Kerja dengan gaya blusukan-nya membawa angin segar baru bagi dunia pertanian di Indonesia. Tetapi, apresiasi saja tidaklah cukup tanpa dibuktikan melalui karya nyata yang bermuara pada peningkatan produksi pertanian dan kesejahteraan petaninya.  Inilah yang harus dibuktikan Kabinet Kerja yang baru seumur jagung ini.  Tekad tiga tahun swasembada pangan adalah tekad akselerasi (percepatan) swasembada pangan yang sangat strategis bagi stabilitas ekonomi nasional.
Dalam dua bulan terakhir, fokus program pertanian pemerintahan ini adalah menggenjot swasembada produksi pertanian dalam arti luas.  Dari swasembada pangan, swasembada gula, swasembada kedelai, swasembada daging dan produk lainnya bahkan hingga ke swasembada garam.  Diantara fokus tersebut maka swasembada pangan merupakan fokus unggulan karena menguasai hajat hidup orang banyak dan mayoritas masyarakat petani di Indonesia yang masih menjadi tumpuan pekerjaan pokoknya.  Meskipun jumlah rumah tangga petani diindikasikan merosot dari 31 juta menjadi 26 juta rumah tangga petani, tetapi melihat penyebaran dan anggota keluarganya yang masih bergantung sebagai mata pencaharian maka fokus swasembada pangan ini menjadi sangat strategis.
Fokus
Agak berbeda dengan program kerja Kementerian Pertanian (Kementan) yang saat ini dengan periode-periode sebelumnya. Kalau pada periode sebelumnya bertumpu pada peningkatan produktivitas maka Kementan era baru ini lebih fokus pada perbaikan infrastruktur dan memperbaiki faktor-faktor produksi pertanian seperti distribusi bibit dan pupuk serta sarana produksi Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) seperti traktor dan mesin pertanian lainnya.
Faktor mekanisasi pertanian menjadi perhatian penting bagi pemerintahan saat ini demikian juga mengenai jalur distribusinya dibuat sependek dan sesederhana mungkin untuk mempercepat kerja kerja dan kerja petani.  Hal itu terlihat saat parade bantuan 1.000 traktor diserahkan di tengah sawah pada saat kunjungan kerja Presiden ke Subang, Ngawi, Sukoharjo dan Kabupaten Landak, Kalbar beberapa waktu lalu.  Jumlah ini akan ditingkatkan menjadi bantuan 7.000 traktor yang direncanakan akan disebar ke-12 provinsi sasaran berdasarkan skala prioritas.
Demikian juga dengan rencana pembangunan waduk-waduk atau dam-dam pertanian seperti yang dijanjikan Jokowi pada saat kampanye Pilpres langsung ditindaklanjuti Kementerian PU yang berkolaborasi dengan Kementan dan Pemrov atau Pemkab sasaran.  Dengan target tahap pertama waduk-waduk ini untuk mengairi irigasi 1  juta hektare sawah produktif memberikan harapan baru bagi petani pangan yang sudah sangat haus akan pembangunan “nyata” di sektor infrastruktur pertanian.
Di sub sektor sarana pertanian seperti pendistribusian bibit-bibit unggul, pupuk organik maupun anorganik serta pestisida pengendali hama dan penyakit tanaman juga perlu disinkronkan antara BUMN-BUMN pertanian dengan Kementan dan Kementerian Perdagangan (Kemendag)selaku pengambil kebijakan-kebijakan yang pro petani dan rakyat.  Dengan disimbolkan blusukan kerja ala Jokowi yang melibatkan beberapa kementerian terkait diharapkan mampu memangkas birokrasi ruwet yang selama ini mengorbankan kepentingan petani sebagai objek bukan sebagai subjek akhir dari rantai pertanian.
Jika ditilik dari pengalaman sang presiden dalam pemerintahan, kiranya masalah sinkronisasi antar-BUMN dengan kementerian-kementerian terkait ini diharapkan bisa diatasi dengan mulus.  Untuk mendukung program-program tersebut pada tahun ini diperkirakan akan digelontorkan dana tak kurang dari Rp 2 triliun untuk mewujudkan bantuan alat dan mesin pertanian, perbaikan irigasi, distribusi bibit/benih unggul serta sarana dan prasarana lainnya.
Terpadu
Sehebat apapun program tanpa dukungan dan terpadunya program itu dengan pelakunya dalam hal ini adalah masyarakat petani dengan aparat serta sikap gotong royong yang selama beberapa tahun ini mulai luntur perlu digiatkan lagi.  Program yang terpadu antar-sub sektor pertanian dari hulu hingga hilir termasuk unsur kelembagaan, penyuluhan, bimbingan dari pemerintah masih diperlukan.  Sukses masa lalu dengan program Bimbingan Massal (Bimas)  dan Intensifikasi Massal (Inmas)yang telah berhasil mengantarkan sukses swasembada pangan 30 tahun lalu (1984) adalah bukti nyata kerterpaduan program dengan masyarakat sebagai objek pembangunan untuk bersama-sama berperan dalam pembangunan fisik maupun spirit-nya.
Pesan Presiden Jokowi pada saat blusukan di sawah Subang beberapa waktu lalu agar para insinyur pertanian terjun ke sawah adalah bentuk sindiran terbuka kepada insan pertanian agar turut memberikan peran nyata padadunia pertanian.  Negeri ini banyak tumbuh perguruan tinggi yang melahirkan insan-insan cendikia yang siap terjun sebagai agen pembangunan.  Tak kurang dari ratusan fakultas pertanian tersebar di seluruh pelosok Nusantara yang setiap tahun menghasilkan ribuan sarjana pertanian di Indonesia seharusnya mampu menjadi aset SDM Pertanian yang andal di bidangnya.
Disinyalir jumlah lulusan sarjana pertanian di Indonesia mencapai 34.000 orang setiap tahunnya atau 3,32 persen dari jumlah sarjana yang lahir setiap tahun, namun sayang yang terjun di dunia pertanian diperkirakan kurang dari 5 persen.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sarjana pertanian yang berkiprah di luar bidangnya, hal ini karena minimnya usaha pertanian dalam skala besar ataupun adanya persepsi kurang menariknya usaha tani dibanding dengan bidang lainnya.
Sebenarnya menurut Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (2014) dengan persentase jumlah sarjana pertanian 3,23 persen dari jumlah lulusan sarjana adalah lebih tinggi dibandingkan negara lain yang notabene lebih maju pertaniannya seperti di Brasil (1,78 persen), Amerika Serikat (1,06 persen), Jepang (2,28 persen), Malaysia (0,58 persen), dan Korea Selatan (1,26 persen).  Tak salah jika Presiden mengimbau agar sarjana pertanian kembali ke khittah-nya untuk memberdayakan bidang pertanian yang sebenarnya masih mempunyai potensi yang sangat tinggi.
Diversifikasi
Banyak analisis dan faktor pendorong tercapainya akselerasi swasembada pangan nasional. Selain faktor di atas baik infrastruktur, sarana dan prasarana, dukungan SDM, keterpaduan program dan lain sebagainya yang mendukung intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian, tetapi juga diversifikasi pangan dalam arti penganekaragaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan hayati manusia di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa dilaksanakan dengan baik.
Pangan bukanlah hanya beras, tetapi banyak sumber pangan yang beraneka ragam yang sebenarnya bisa merupakan substitusi dari beras yang selama ini menjadi bahan makanan pokok masyarakat di Indonesia. Sebagai negara dengan konsumsi beras perkapita tertinggi di dunia yaitu sebesar 130 kg/kapita banyak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.  Dengan mengurangi konsumsi beras per kapita nasional sebesar 10 persen saja akan sangat membantu akselerasi swasembada pangan khususnya beras sekaligus meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Semoga program akselerasi swasembada pangan di era pemerintahan ini menjadi angin segar bagi terwujudnya kedaulatan pangan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya. Semoga !!!

https://joglosemar.co/2015/03/opini-percepatan-swasembada-pangan.html

SoloPos, Senin 1 Desember 2014, halaman 4 rubrik : Gagasan Judul : Petani Menunggu Gebrakan Mentan

Petani Menunggu Gebrakan Mentan

Oleh : H. M. Sholeh
msholeh10@gmail.com
Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah


Bisnis Indonesia 11 Oktober 2014 halaman 2 rubrik Opini dan Harian SoloPos Sabtu 11 Oktober halaman 4 rubrik : Gagasan Judul : Dekadensi Minat Bertani

Dekadensi Minat Bertani

Oleh : M. Sholeh
Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah




Oleh : Ir. H.M. Sholeh, MM.
Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah tinggal di Sragen
msholeh10@gmail.com