SOLOPOS.COM > Kolom > GAGASAN : Menuju Tempe Kedelai Dhewe
GAGASAN
Menuju Tempe Kedelai Dhewe

M. Sholeh
msholeh10@yahoo.com
Pengamat masalah pertanian
Dewan Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah
Tempe yang selama ini dikenal sebagai makanan rakyat bawah
tiba-tiba menggegerkan kancah komoditas pertanian nasional. Penyebabnya
tak lain adalah kelangkaan kedelai sebagai bahan baku tempe. Ribuan
pengrajin tahu-tempe terancam gulung tikar, dan mengancam akan mogok
berproduksi serta berunjuk rasa di mana-mana. Itulah pelajaran yang perlu dipetik para pengambil kebijakan bahwa
barang yang dianggap sepele seperti tempe bila tak ditunjang kebijakan
yang kece dapat menyebabkan ekonomi rakyat memble. Adalah hal yang sungguh ironis di negeri yang mengaku asal tempe
tetapi bahan bakunya adalah kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat.
Ada apa dengan tempe? Mengapa suplai kedelai memble? Itulah topik pekan
ini yang menjadi sorotan pedagang tahu-tempe hingga pejabat perlente.
Sesungguhnya saya sudah mengamati sejak 2005 bahwa suatu saat akan
terjadi masalah dengan kedelai jika tidak ada perhatian serius terhadap
penanaman komoditas kedelai tersebut (lihat gambar 1).
Gambar 1. Estimasi Kebutuhan, Impor dan Luasan Produksi Kedele Indonesia
(Diolah dari data BPS)
Ternyata di awal 2008 lalu terbukti masalah kedelai harus dibahas DPR
dan pemerintah demi menyelamatkan ekonomi rakyat. Para pengusaha
tahu-tempe yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja di level bawah
ternyata harus menganggur karena kelangkaan kedelai. Dari grafik tersebut terlihat kecenderungan impor dan produksi
kedelai nasional seharusnya diwaspadai sejak 2005. Apalagi, walaupun
luas lahan meningkat tetapi peningkatannya tidak seberapa, sementara
kebutuhan semakin meningkat dan impor meningkat tajam mulai 2005. Dan lebih parahnya lagi kejadian serupa terjadi lagi pada 2013 ini.
Bagaimana kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan)—lebih tepatnya
Menteri Pertanian–selaku pemangku kebijakan pertanian?
Jika ditilik dari kebutuhan kedelai nasional per tahun yang mencapai
2.2 juta ton, 1.8 juta ton di antaranya tersedot untuk pembuatan
tahu-tempe dan sejenisnya, dan anehnya 72% di antaranya atau hampir 1.58
juta ton masih tergantung dari impor. Itu terjadi karena kebijakan perdagangan yang memungkinkan masuknya
kedelai impor bersubsidi dari luar negeri dengan harga murah dan dengan
pembayaran ringan yang berakibat melemahkan potensi produksi dalam
negeri dari waktu ke waktu. Sementara itu, dengan perubahan pola penggunaan kedelai global dari
konsumsi pangan yang mulai didiversifikasi menjadi bahan bakar nabati,
meningkatlah permintaan kedelai dunia. Akibatnya seperti dirasakan di
Indonesia. Dalam waktu hanya tiga bulan terakhir terjadi peningkatan harga
kedelai lebih dari 100 persen. Ini suatu lonjakan harga yang mencapai
rekor tertinggi sepanjang 34 tahun terakhir. Bahkan harga kedelai lokal
sudah mencapai Rp7.000-Rp10.000 per kilogram.
Produksi kedelai dalam negeri tak mampu lagi memenuhi kebutuhan
nasional, apalagi mewujudkan swasembada. Mengapa petani enggan menanam
kedelai? Seharusnya dengan fenomena meningkatnya harga-biji-bijian di
pasar dunia, hal itu meningkatkan rangsangan bagi petani untuk menanam
kedelai secara besar-besaran. Bagaimana kiat untuk menggairahkan petani
menanam kedelai secara massal untuk mencukupi kebutuhan nasional ?
Kunci di Penanaman
Asumsi bahwa tanaman kedelai itu tanaman asli daerah subtropis dan
kurang baik dibudidayakan di daerah tropis terpatahkan dengan berbagai
penemuan varietas unggul kedelai nasional seperti varietas lokon, wilis,
baluran, marubateri, dan lain-lainnya. Bahkan edamame (kedelai sayur) pun sudah tumbuh baik di Jember, Jawa Timur.
Menurut saya yang berlatar belakang petani, kunci utama adalah di
budi daya kedelai. Kuncinya adalah bagaimana budi daya kedelai bisa
menghasilkan panen yang banyak dan berkualitas baik. Selama ini petani
enggan menanam kedelai karena produktivitasnya yang rendah dan harganya
yang tidak cukup baik bagi petani. Produktivitas nasional hanya berkisar 1 ton–1,2 ton per hektare
dengan harga hanya Rp3.000-Rp3.500 per kilogram saat itu. Jika biaya
budi daya per hektare (sarana produksi pertanian atau saprotan dan
tenaga kerja dihitung) sekitar Rp3 juta–Rp3.5 juta per hektare,
pendapatan petani dengan produktivitas satu ton/hektare hanya Rp3
juta–Rp3.5 juta per hektare. Artinya tak ada keuntungan bagi petani.
Dengan program kemitraan dengan berbagai pihak, beberapa petani
maupun profesional di bidang pertanian telah mengkaji bahwa dengan
teknik budi daya yang baik dan intensif dan dukungan teknologi (benih
unggul, pemupukan berimbang, dan cara budi daya) yang baik maka
produktivitas tanaman kedelai dapat ditingkatkan menjadi 1,8 ton per
hektare bahkan pernah mencapai tiga ton per hektare untuk varietas
unggul nasional baluran. Dengan pencapaian rata-rata dua ton per hektare saja dapat dipastikan
petani akan bergairah kembali untuk menanam kedelai. Jika harga kedelai
nasional bertahan pada titik keseimbangan Rp6.000 per kilogram, dengan
produktivitas dua ton per hektare dan biaya yang meningkat hingga Rp4
juta per hektare pun petani masih akan untung hingga Rp6 juta per musim
atau hampir Rp2 juta per bulan.
Tanaman kedelai hanya membutuhkan waktu 80 hari-90 hari dari
penanaman hingga panen. Banyak petani menggunakan pola tanam sela atau
tanaman jeda di antara dua penanaman padi di sawah. Kurang tepatnya
kebijakan pemerintah saat ini adalah ada rangsangan agar petani hanya
menanam dengan pola padi-padi-padi (tiga kali musim) padahal selayaknya
penanaman yang baik adalah padi-padi-kedelai atau padi-padi-jagung atau
palawija lainnya yang bisa mengembalikan kesuburan tanah atau menjaga
keseimbangan unsur hara.
Dari pantauan saya di beberapa lokasi di Jawa Tengah (Jateng) dan
Daeran Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dibutuhkan petani adalah ”jaminan
pasar”. Jangan sampai peluang harga tinggi hanya sesaat, tapi begitu
panen harga turun lagi. Itulah pikiran praktis petani kita. Oleh karena
itu kunci kedua adalah pola kemitraan penanaman dengan petani dan
jaminan pasar. Siapakah yang akan mampu menjamin pasar? Sementara kepastian
pemerintah untuk menunjuk Badan Urusan Logistik (Bulog) atau lembaga
lainnya sebagai lembaga penyeimbang komoditas kedelai masih menunggu
maka mekanisme pasar yang akan menjadi penentu harga kedelai di pasaran. Keseimbangan harga kedelai di tingkat petani dan pengrajin tahu-tempe sebaiknya terjadi secara alamiah dan market driven.
Kalau petani kita diintroduksi dengan varietas unggul kedelai, mereka
akan senang sekali menanam kedelai. Para petani punya harapan titik
keseimbangan harga beli pemerintah/lembaga yang akan ditunjuk nanti
berkisar Rp6.000-Rp7.000 per kilogram.
Akses terpenting untuk pengembangan kedelai adalah akses konsumen
produk kedelai yaitu para anggota Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti)
dan akses produsen kedelai yaitu para anggota Koperasi Tani dan Nelayan
(Koptan). Dua hal inilah yang bisa memegang peran dalam rangka menuju
kembalinya ”impian” swasembada kedelai nasional. Diharapkan di masa
depan hal ini bukanlah sebagai impian belaka tetapi dapat menjadi
kenyataan.
Solusi
Sekali lagi apa pun langkah pemerintah apakah menurunkan bea impor
sampai nihil atau intervensi pola pertanian, sebagai petani saya tetap
berpendapat solusi yang tepat adalah tetap membudidayakan kedelai
sebagai tanaman produktif yang bukan hanya sebagai tanaman sela tetapi
sebagai pola tanam yang produktif menghasilkan pendapatan yang berujung
pada peningkatan kesejahteraan petani.
Ingat, tanaman kedelai tidak hanya berfungsi sebagai tanaman
produksi, tetapi juga sebagai tanaman yang dapat membantu keseimbangan
unsur hara tanah karena mampu menambat unsur nitrogen (N) bebas yang
sangat diperlukan bagi pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah. Program ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bukan hanya tanaman
pangan, tetapi palawija seperti budi daya kedelai juga harus
diperhatikan karena menopang hajat hidup orang banyak, khususnya petani.
Niat baik untuk memberdayakan petani pangan ini perlu dukungan dari
berbagai pihak dan para pengambil kebijakan agar program ini dapat
menjadi program nyata khususnya untuk menangani masalah kedelai nasional
seperti yang terjadi saat ini. Di masa depan jangan lagi kita menjadi
”bangsa tempe kedelai yu es e (USA)”, tetapi kita menuju ”bangsa tempe kedelai dhewe (Jawa: hasil panen sendiri)”. Semoga…
(dari Solo Pos 7-9-2013 halaman 4 rubrik Gagasan. http://www.solopos.com/2013/09/07/gagasan-menuju-tempe-kedelai-dhewe-445166)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar